Wahyudi " si beseck" Kurniawan

21 Juli 2011

OBAT PALSU

OBAT PALSU DAN BAHAYANYA

Sejumlah merek obat paten telah dipalsukan dan beredar di pasaran umum. Selain tidak memberikan kesembuhan, obat palsu justru dapat menimbulkan masalah baru, bahkan mengancam jiwa pemakainya. Jenis yang dipalsukan bervariasi, mulai dari balsem hingga antibiotika.


Dalam Permenkes No. 242/Menkes/SK/V/1990 tanggal 28 Mei 1990 disebutkan, obat palsu adalah obat yang diproduksi oleh pihak yang tak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; obat yang tidak terdaftar; dan obat yang kadar zat berkhasiatnya menyimpang lebih dari 20% di bawah batas kadar yang ditetapkan.

Kandungan zat aktif dalam obat palsu dibagi tiga kemungkinan: (1) kandungan zat aktif dan jumlahnya (berat/volume) sama; (2) kandungan zat aktif sama, tapi jumlahnya lebih sedikit; (3) tidak mengandung zat aktif sama sekali.

Obat palsu kemungkinan pertama terjadi karena diproduksi oleh yang tidak berhak dengan menggunakan nama dagang obat atau nama generik. Obat belum terdaftar di Depkes RI. Walau kandungan zat aktif dan jumlahnya sama, namun aspek pembuatan (farmasetik), stabilitas, dan khasiatnya masih diragukan.

Obat palsu kemungkinan kedua, kandungan zat aktif sama, tapi kadarnya lebih sedikit (semisal kurang dari 20%), tidak terdaftar. Obat palsu ini kurang berkhasiat dibandingkan dengan obat palsu kemungkinan satu. Karena kandungan zat aktifnya kurang dari 80%.

Obat palsu kemungkinan ketiga, tidak mengandung zat aktif sama sekali. Obat berisi bahan lain. Tepung atau gula susu (laktosa) atau bahan yang secara farmasetik dan farmakologi tidak memberikan kesembuhan pada penderita.

Jenis obat yang dipalsu

Tujuan memalsu obat kemungkinan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, atau untuk menjatuhkan pasaran obat lain. Caranya, dengan membuat kemasan dan penandaan persis dengan produk aslinya. Secara fisik, sulit dikenali. Hanya analisis laboratorium yang mampu menjelaskan keabsahannya.

Ada dua jenis obat yang sering dipalsu. Yang pertama adalah obat nama generik yang berharga murah dan banyak digunakan masyarakat luas. Misal, Antalgin, Sulfaguanidin, Tetrasiklin, Kloramfenikol, CTM, dll. Obat ini mudah dibuat, dan peralatannya pun sederhana (manual). Bentuknya tablet atau kapsul, dengan kemasan sederhana, semisal strip/blister/botol/kaleng.

Yang kedua, nama dagang obat dari pabrik obat legal. Bentuk dan kemasannya ditiru hingga persis aslinya. Bisa berupa tablet, kapsul, sirup, atau salep. Nama dagang obat yang pernah dipalsu, antara lain Novalgin, Neuropyron, Oradexon, Ketalar, Ponstan, Supertetra, balsem Cap Macan, dll. Pemalsunya industri rumah tangga.

Obat palsu menggunakan nama generik lebih sulit diketahui, karena ciri-cirinya sukar dikenali. Obat generik palsu diedarkan ke oknum pengedar sampai ke pelosok desa. Di kios dijual dalam kemasan plastik berisi beberapa obat yang berbeda untuk sekali minum, terutama obat pegal-pegal atau penambah nafsu makan (obat stelan).

Obat palsu nama dagang lebih mudah dikenali, terutama oleh petugas apotek (apoteker & asisten apoteker) dan pedagang besar farmasi serta pabrik obat yang produknya dipalsu. Dari ciri-ciri fisik (tanpa uji lab), obat palsu bisa dibedakan dari obat asli.

Obat impor juga perlu diwaspadai, karena kemungkinan tidak terdaftar dan tak memenuhi persyaratan yang berlaku di Indonesia. Di sini pernah ditemukan obat eks luar negeri tanpa registrasi DepKes RI. Di antaranya, obat dengan merek dagang Ponstan, Ventolin, Amoxil, dll. Obat-obat ini biasanya "buatan" Thailand dan India.

Obat luar ada yang diimpor legal (oleh industri farmasi di Indonesia, pedagang besar farmasi, apotek berizin mengimpor obat luar). Obat impor juga harus didaftarkan dan diberi nomor regitrasi serta memenuhi persyaratan farmasetik, bioavailibilitas, efektif dan aman bagi pasien.

Tapi ada pula obat luar ilegal alias selundupan. Contoh, obat/kosmetika/obat cina tanpa nomor registrasi DepKes RI yang beredar bebas di toko obat atau distributor bukan pedagang besar farmasi. Bahkan iklan obat luar negeri terang-terangan dipasang di media cetak. Contoh, obat Viagra, sebelum diedarkan oleh distributornya, sudah diedarkan lebih dahulu oleh distributor bukan pedagang besar farmasi. Apalagi Viagra termasuk obat keras yang harus diresepkan dokter dan tidak boleh diiklankan di media massa.

Obat kedaluwarsa
Berbeda dengan obat palsu, obat kedaluwarsa sebenarnya obat asli. Hanya saja, secara farmasetik - berdasarkan prediksi waktu - obat itu dinyatakan sudah tidak memenuhi persyaratan kadar zat aktif menurut standar Farmakope Indonesia/Farmakope lainnya. Persyaratan kadar obat dianggap tidak memenuhi syarat apabila kadarnya di bawah 90% atau 95%, atau melebihi 105% atau 110% tergantung jenis obatnya.

Obat dengan rentang terapi sempit, persyaratan kadarnya 95 - 105% dan rentang terapinya lebar 90 - 110%. Misal, obat Ampisilin kadarnya per kapsul 250 mg, bila kadar obatnya di bawah 225 mg (<90%) dianggap kedaluwarsa.

Obat yang beredar ada yang bertanda kedaluwarsa, dan biasanya dicantumkan dalam kemasan dos/botol atau strip/blisternya. Obat yang dinyatakan kedaluwarsa berdasar keterangan dalam kemasannya (ada tanda tulisan ED = Expiration Date) tidak dianjurkan untuk digunakan atau diberikan kepada penderita.

Pabrik obat umumnya memberi batas kedaluwarsa lima tahun setelah obat diproduksi. Obat yang mendekati masa kedaluwarsa di apotek, biasanya dipisahkan. Obat kedaluwarsa tak boleh diberikan kepada penderita.

Obat bertanda ED, biasanya golongan antibiotika, vaksin, serum. Namun sekarang obat di luar ketiga golongan itu (umumnya dari pabrik PMA/asing) juga ada tandanya.

Sedangkan obat dengan kandungan yang sama dari pabrik PMDN/BUMN belum mencantumkan tanda kedaluwarsa. Misal, obat merek Panadol, buatan Sterling Winthrop (pabrik PMA). Antipiretika atau penurun panas dengan zat aktif parasetamol ini ada tanda kedaluwarsanya. Tapi tablet Parasetamol lain, seperti Parasetol, Pamol, Parasetamol generik tak dicantumi tanda kedaluwarsa. Ada perbedaan karena pabrik PMA menyesuaikan dengan persyaratan dari produk asli induk pabriknya di luar negeri, untuk menjaga mutu obat produksinya.

Obat kedaluwarsa kadang-kadang diedarkan oleh oknum dengan cara menghapus tanda kedaluwarsanya. Jika kurang hati-hati, apotek/toko obat akan menjadi korban dan secara tidak sengaja akan mengedarkannya ke masyarakat.

Bahaya obat palsu dan kedaluwarsa
Pemakaian obat palsu jelas merugikan masyarakat luas. Karena penderita tidak kunjung sembuh dan biaya obat membengkak. Penderita tidak dapat bekerja sehingga penghasilan berkurang. Penderita sakit berat akan berakibat lebih parah, kecacatan, bahkan kematian.

Bila yang dipalsu obat anestesi Ketalar, maka operasi menjadi tertunda. Kalau yang dipalsu Oradexon injeksi untuk mencegah edema otak, maka menyebabkan edema otak yang dapat berakhir dengan kecacatan atau kematian.

Tahun 1978 pernah terjadi pemalsuan obat malaria yang beredar di daerah transmigrasi. Obat malaria tidak berisi zat aktif kinin, melainkan zat tepung. Akibatnya, korban meninggal dunia. Sementara industri farmasi yang produk obatnya dipalsu mengalami penurunan omzet untuk sementara waktu.

Obat asli yang kedaluwarsa biasanya mengalami kerusakan sebagian bahan aktif/zat tambahannya. Kerusakan itu menjadikan tidak berkhasiat, bahkan membahayakan kesehatan. Misalnya, Tetrasiklin berwarna kuning kalau rusak akan berubah jadi coklat. Adanya degradasi (peruraian) yang menjadikan epitetrasiklin sangat berbahaya bagi ginjal. Sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.

Tips untuk konsumen
Sebagai pemakai obat, masyarakat perlu mendapatkan informasi dan penjelasan tentang obat palsu dan kedaluwarsa. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen April 2000, pihak distributor langsung (apotek/toko obat) harus bertanggung jawab, jangan sampai konsumen menerima obat palsu/kedaluwarsa.

Bila hal itu terjadi, masyarakat dapat menuntut sesuai UU Kesehatan No. 23/1992 dan UU Perlindungan Konsumen 1999.

Masyarakat sendiri perlu waspada dengan menerapkan tips berikut:

1. Berlaku kritis. Tanyakanlah ada tidaknya tanggal kedaluwarsa. Jangan mudah percaya dengan obat yang dijual murah dan jangan malu menanyakan label kemasan.

2. Bila obat baru direkonstitusi (terutama sirup antibiotika golongan penisilin), stabilitas obatnya hanya tahan seminggu, karena serbuk sirupnya sudah dicampur dengan air.

3. Dapatkan obat di apotek/toko obat berizin atau tempat yang layak dipercaya keabsahan/mutu obatnya.

4. Jangan membeli obat di warung/kios kaki lima tanpa kemasan asli dari pabriknya. Misal, obat ditaruh di kantong plastik, tanpa etiket yang jelas dari pabriknya.

5. Jangan menggunakan obat pemberian orang lain yang belum jelas nama obat dan kegunaannya.

6. Bila mendapatkan obat di apotek/rumah sakit hendaknya informasi tentang obat tersebut ditanyakan kepada apoteker atau asisten apotekernya.

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tterima kasih untuk narasumber dan pengunjung ....jika ada yg perlu di tanyakan....tanyakan saja...tapi jangan nunggu jawaban yaa...maaf...yg punya blog lagi kena penyakit malees....